KH. Abdurrahman Wahid, nama aslinya adalah Abdurrahman
Addakhil (yang berarti sang penakluk) dan lebih dikenal dengan pangilan Gus Dur,
adalah anak pertama dari 6 bersaudara, dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa
Timur pada 4 Agustus 1940. Ayahnya, KH Wahid Hasyim adalah
putra KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Ibundanya, Hj Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, KH
Bisri Syansuri.
Pada tahun 1944, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta karena ayahnya
terpilih menjadi ketua Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Setelah Indonesia merdeka Gus Dur kembali ke Jombang hingga Pada tahun 1949, Gusdur Pindah lagi ke Jakarta karena
ayahnya diangkat menjadi Mentri Agama. Gus Dur sekolah di SD KRIS kemudian pindah ke SD Matraman Perwari. Gus Dur juga diajarkan membaca buku
non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada
April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa
Barat untuk meresmikan madrasah. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara
Cimahi-Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan,
tetapi ayahnya meninggal. Gus Dur masuk SMP pada tahun 1954, saat itu
ia tidak naik kelas, Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di
Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada 1957, Gus Dur lulus dari SMP
dan pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim
di Pesantren Tegalrejo. Ia menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua
tahun (seharusnya empat tahun). Pada 1959, Gus
Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana ia juga menerima
pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga
dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada
1963, Gus Dur menerima beasiswa untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. ia menolak metode belajar yang digunakan Universitas. Di Mesir, ia
dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa
Gerakan 30 September (G30S) terjadi. Gus
Dur mendapatkan beasiswa di Universitas Baghdad dan pindah
ke Irak. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970,
Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan
pendidikannya. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi dia kecewa karena
pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui oleh Belanda, Gus Dur pergi
ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1972.
Pada
11 September 1971, Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah. sebelumnya, tiga tahun
yang lalu Gus Dur sudah menikah jarak jauh dengan Sinta Nuriyah, dan nantinya dikaruniai
empat anak yaitu: Alissa Qotrunnada, Zannuba
Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Pada 1977, Gus Dur bergabung ke Universitas Hasyim
Asyari (Jombang) sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan
Universitas ingin agar Gus Dur mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam
dan misiologi. Tahun 1979, Gus Dur mulai banyak terlibat dalam kepemimpinan NU, yaitu di
Syuriah NU. Dia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun kelompok dengan
latar belakang berbeda-beda, dan terlibat dalam berbagai proyek dan aktivitas
sosial. Tahun 1982, Gus Dur masuk sebagai
ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), pernah menjadi ketua dewan juri Festival
Film Nasional di tahun 70-an dan 80-an. Di tahun itu dia juga mendapat pengalaman
politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif, dia berkampanye untuk
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tahun 1994-1999 Gus Dur terpilih menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU mengantikan K.H.
Idham Chalid. Tahun 1999-2001, Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI
dengan wakil Megawati Soekarnoputri. Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan
Nasional. Gus Dur melakukan dua reformasi pemerintahan yaitu membubarkan
Departemen Penerangan dan membubarkan Departemen Sosial yang korup. Hal-hal
yang dilakukannya saat menjabat menjadi presiden diantaranya: melakukan
perjalanan luar negeri, bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), berusaha
membuka hubungan dengan Israel dll. Gus Dur dikenal sebagai seorang yang
humoris tapi serius. Hingga pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai
menjabat sebagai presiden. Ia menderita gangguan penglihatan. Beberapa kali ia
mengalami serangan stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Ia meninggal dunia
pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut, yang dideritanya
sejak lama. Gus Dur dimakamkan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
KH.
Abdurrahman Wahid semasa hidupnya banyak
memperoleh penghargaan, yaitu:
- Tokoh 1990, Majalah Editor, tahun 1990
- Ramon Magsaysay Award for Community Leadership, Ramon Magsaysay Award Foundation, Philipina, tahun 1991
- Islamic Missionary Award from the Government of Egypt, tahun 1991
- Penghargaan Bina Ekatama, PKBI, tahun 1994
- Man Of The Year 1998, Majalah berita independent (REM), tahun 1998
- Honorary Degree in Public Administration and Policy Issues from the University of Twente, tahun 2000
- Gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Jawaharlal Nehru, tahun 2000
- Doctor Honoris Causa dalam bidang Philosophy In Law dari Universitas Thammasat Thaprachan Bangkok, Thailand, Mei 2000
- Doctor Honoris Causa dari Universitas Paris I (Panthéon-Sorbonne) pada bidang ilmu hukum dan politik, ilmu ekonomi dan manajemen, dan ilmu humaniora, tahun 2000
- Penghargaan Kepemimpinan Global (The Global Leadership Award) dari Columbia University, September 2000
- Doctor Honoris Causa dari Asian Institute of Technology, Thailand, tahun 2000
- Ambassador for Peace, salah satu badan PBB, tahun 2001
- Doctor Honoris Causa dari Universitas Sokka, Jepang, tahun 2002
- Doctor Honoris Causa bidang hukum dari Konkuk University, Seoul Korea Selatan, 21 Maret 2003.