Thursday, August 1, 2013

SEJARAH HALAL BI HALAL



Sejarah Halal Bihalal

     Konon, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh
Pangeran Sambernyawa. Untuk menghemat waktu, tenaga, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja, pra punggawa, dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan Pangeran Sambernyawa kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal.
     Sementara itu, budayawan Umar Kayam (alm) menyatakan, bahwa tradisi lebaran dan halal bihalal merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam.
      Dalam kegiatan tersebut, umat Islam di Jawa saling bersilaturahim dan sungkem kepada orang yang lebih tua. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan. Kedua, sebagai permohonan maaf atau nyuwun ngapura. Istilah nyapura tampaknya berasal dari bahasa Arab, ghafura. Tradisi ini kemudian meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama.
     Sejarawan lainnya menyatakan, halal bihalal dipopulerkan oleh Bung Karno pada 1946. Saat itu, Bapak Proklamasi Indonesia ini mengadakan halal bihalal di Yogjakarta. Tujuannya, agar semua pejabat dan pegawai bisa bertemu serta saling memaafkan. Ternyata, ide Bung Karno ini menjadi tradisi tahunan. Hampir semua instansi pemerintah, mulai pusat hingga tingkat RT, menggelar halal bihalal. Bagi kalangan santri, seperti pondok pesantren, ma’had, madrasah, dan takmir masjid, halal biasanya diselenggarakan dengan menghadirkan seorang kiai atau habib untuk memberikan tausiah atau nasihat.
     Kini, tradisi tersebut tak pernah luntur. Hanya saja, halal bihalal masih diperdebatkan. Sebagian ulama ada yang menganggapnya sebagai bid’ah. Juga tak sedikit ulama yang berpendapat, bahwa halal bihalal sebagai ajang untuk menjalin silaturahim, bermaaf-maafan, dan wujud rasa syukur.
     Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
     Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman.
     Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317). Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, sejauh yang saya ketahui, masyarakat Arab sendiri tidak akan memahami arti halal-bihalal yang merupakan hasil kreativitas bangsa Melayu. Halal-bihalal, tidak lain, adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara. Halal-bihalal merupakan tradisi khas dan unik bangsa ini.
     Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti ‘diperkenankan’. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti kebaikan. Dalam pengertian kedua, kata halal terkait dengan status kelayakan sebuah makanan. Dalam pengertian terakhir selalu dikaitkan dengan kata thayyib (baik). Akan tetapi, tidak semua yang halal selalu berarti baik. Ambil contoh, misalnya talak (Arab: Thalaq; arti: cerai), seperti ditegaskan Rasulullah SAW: Talak adalah halal, namun sangat dibenci (berarti tidak baik). Jadi, dalam hal ini, ukuran halal yang patut dijadikan pedoman, selain makna ‘diperkenankan’, adalah yang baik dan yang menyenangkan. Sebagai sebuah tradisi khas masyarakat Melayu, apakah halal-bihalal memiliki landasan teologis? Dalam Al Qurâan, (Ali ‘Imron: 134-135) diperintahkan, bagi seorang Muslim yang bertakwa bila melakukan kesalahan, paling tidak harus menyadari perbuatannya lalu memohon ampun atas kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi, mampu menahan amarah dan memaafkan dan berbuat kebajikan terhadap orang lain.
Dari ayat ini, selain berisi ajakan untuk saling maaf-memaafkan, halal-bihalal juga dapat diartikan sebagai hubungan antar manusia untuk saling berinteraksi melalui aktivitas yang tidak dilarang serta mengandung sesuatu yang baik dan menyenangkan. Atau bisa dikatakan, bahwa setiap orang dituntut untuk tidak melakukan sesuatu apa pun kecuali yang baik dan menyenangkan. Lebih luas lagi, berhalal-bihalal, semestinya tidak semata-mata dengan memaafkan yang biasanya hanya melalui lisan atau kartu ucapan selamat, tetapi harus diikuti perbuatan yang baik dan menyenangkan bagi orang lain.

     Dan perintah untuk saling memaafkan dan berbuat baik kepada orang lain seharusnya tidak semata-mata dilakukan saat Lebaran. Akan tetapi, harus berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Halal-bihalal yang merupakan tradisi khas rumpun bangsa tersebut merefleksikan bahwa Islam di negara-negara tersebut sejak awal adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.
Ini sesuai dengan Firman Allah, "Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) berbuat kebaikan”. (Q.S. 2:148). Titik tekan ayat di atas adalah pada berbuat kebaikan dan perilaku berorientasi nilai. Perilaku semacam ini akan mentransformasi dunia menjadi sebuah surga. Firman Allah (SWT), Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. 2:177)
            NILAI POSITIF & NEGATIF HALAL BI HALAL

     Nilai positif halal bi halal adalah terjalinnya persaudaraa dan dapat mempererat tali silaturrahmi, terciptanya perdamaian dan rasa aman karena terhindar dari terjadinya konflik sosial.
     Meskipun tradisi mudik lebaran membawa dampak positif yakni menambahsolidaritas kekeluargaan semakin kuat, akan tetapi tradisi ini juga membawadampak negatif bagi kota maupun desa. Bagi kota, tradisi mudik adalah awal daripersoalan pembangunan kota, karena pada umumnya jumlah penduduk yangmelakukan arus balik lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk yangmelakukan arus mudik. Bertambahnya jumlah penduduk kota akan menimbulkanberbagai masalah baik masalah fisik seperti kemerosotan lingkungan, berkembangnya pemukiman kumuh, kebutuhan perumahan, masalah transportasi,kemacetan lalu lintas maupun masalah-masalah sosial yang khas.

1 comment:

Biasakan untuk meninggalkan komentar setelah membaca.
Komentar yang dibutuhkan adalah komentar yang bersifat membangun dan saran bukan komentar yang mengandung SPAM.
Terima kasih atas kunjungannya.

(PLEASE NO SPAM).